Kamis, 27 Oktober 2016

Sejarah Semen Dan Beton

Konstruksi Peninggalan Romawi
Istilah Semen dipakaikan untuk zat yang digunakan untuk merekat batu, bata, batako, maupun bahan bangunan lainnya. Sedangkan kata “semen” sendiri berasal dari caementum (bahasa Latin), yang artinya “memotong menjadi bagian-bagian kecil tak beraturan”. Meski sempat populer di zamannya, nenek moyang semen made in Napoli ini tak berumur panjang. Menyusul runtuhnya Kerajaan Romawi, sekitar abad pertengahan (tahun 1100-1500 M) resep ramuan pozzuolana sempat menghilang dari peredaran. Dalam konstruksi, beton adalah sebuah bahan bangunan komposit yang terbuat dari kombinasi aggregat dan pengikat semen. Bentuk paling umum dari beton adalah beton semen Portland, yang terdiri dari agregat mineral (biasanya kerikil dan pasir), semen dan air. Berikut Sejarahnya :

1. Permulaan Penggunaan -ERA 5600 – 300 SM

Dalam ilmu geologi, sementasi (proses pengikatan) dan pembetonan terjadi ketika suatu proses yang disebut litifikasi berlangsung, yang artinya partikel bantuan lepas diikat bersama oleh suatu mineral seperti Kalsium Karbonat (Calcite) atau Oksida Besi (Limonite). Manusia mengenal fenomena alam ini dan mulai mencoba (trial & error) untuk membuat duplikasi proses tersebut.

Bangunan beton tertua yang ditemukan adalah dari tahun 5600 Sebelum Masehi (SM) di Tepian Sungai Danube di Lepenski Vir, di mantan Negara Yugoslavia. Lantai yang berbentuk trapesium tebalnya 25 cm, dibuat dari campuran kapur merah (diangkut hamper 200 mil ke hulu), pasir dan kerikil, lalu ditambahkan air. Beton tersebut kemudian dituang dan dipadatkan membentuk lantai. Lantai ini menjadi dasar untuk gubuk dari sebuah desa para pemburu dan pengail dari jaman batu (Neolitik).

Ada catatan bahwa bangsa Assyria dan Babilonia kuno telah menggunakan tanah liat sebagai semen pengikat. Bahkan ada kemungkinan bahwa api ditemukan untuk tujuan mengubah batu kapur menjadi gamping, yang memanas waktu dicampur dengan air, dan secara lambat menjadi kaku.

Dari sudut pandang yang lain, beton dapat dikatakan sebagai material yang komposit. Pengetahuan tentang material komposit ini tampaknya sudah lama ada. Yang tertua yang tercatat adalah kombinasi tanah liat dan jerami, yaitu seperti yang disebutkan pada Kitab Keluaran (Exodus) pada jaman Nabi Musa.

Sekitar tahun 3000 SM tersebut, orang Mesir kuno menggunakan tanah liat yang dikombinasikan dengan jerami untuk mengikat batu bata yang dikeringkan, dan membuahkan piramida-piramida Ramses yang terkenal, mereka juga memakai kapur sebagai semen pengikat pada bangunan piramida di Giza. Beberapa peneliti mengatakannya sebagai beton kapur, sedangkan penulis lain mengatakan perekatnya dibentuk dari gamping (gypsum, kapur yang dibakar). Pada masa yang sama, bahan perekat digunakan untuk mengikat bambu pada perahu dan Tembok Besar di Tiongkok Daratan.

Dalam perkembangan material bangunan, bukanlah batu bata maupun pasta semen yang menjadi material ampuh. Batu sifatnya keras tetapi terlalu getas, sedangkan semen cenderung retak pada waktu mongering. Namun bila kedua bahan ini dikombinasikan menjadi beton maka jadilah material yang mungkin paling andal seperti yang kita kenal.

Ilustrasi proses pengecoran beton yang paling dini terdapat pada mural di Thebes, dari tahun 1950 SM. Mengingat bahwa pada jaman itu belum ada alat-alat berat seperti crane dan bulldozer, timbul banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mereka membangun piramida tersebut. Bahkan ada yang berhipotesis bahwa piramida dibuat bukan dari batuan yang ditumpuk, melainkan dari beton yang dicor ditempat (in-situ) secara monolit.

Keterampilan membuat beton kemudian menyebar dari Mesir ke Laut Tengah (Mediterranean) bagian timur, dan pada tahun 500 SM digunakan di Yunani Kuno. Orang Yunani menggunakan komposisi dasar kapur untuk menutupi dinding dari bata yang tidak dibakar. Istana Croesus dan Attalus dibangun dengan cara ini. Beton pada masa tersebut terdiri dari batu-batu besar yang diikat menjadi satu oleh mortar kapur dan pasir. Dibuat demikian karena mortar terlalu lemah untuk mengikat semua bahan menjadi suatu masa yang utuh.

2. Penemuan Semen Alami (ERA 300 SM – 500 M)

Sekitar tahun 300 SM orang Romawi menyempurnakan perekat pada era sebelumnya dengan memakai gamping pada bangunan koloseum, jaringan aquaduct dan berbagai struktur lainnya. Pada abad kedua Sebelum Masehi orang Romawi menggali bahan seperti pasir berwarna merah jambu dari sumber di Pozzuoli, dekat Gunung Vesuvius, Italia. Mereka menduganya sebagai pasir sehingga dicampur dengan kapur. Ternyata campuran tersebut malah lebih kuat. Penemuan ini sangat berpengaruh pada bangunan dalam kurun waktu 400 tahun berikutnya karena material tersebut bukanlah pasir tetapi abu gunung berapi yang mengandung silika dan alumina, yang kombinasinya secara kimiawi dengan kapur menghasilkan apa yang dikenal sebagai semen pozzolan. Salah satu bangunan besar yang menggunakan materi ini adalah teater di Pompeii, yang dibangun pada tahun 75 SM.

Beton pada jaman tersebut, yang disebut opus caementicium, merupakan kombinasi dari mortar dan agregat (caementa) yang dipasang pada lapisan-lapisan mendatar. Agregatnya berukuran besar, 5-15 cm. Beton dipakai sebagai material pengisi dalam dinding yang bagian luarnya terbuat dari pasangan batu atau bata. Antara 15-25 lapisan bata dipasang lapisan genteng datar sebagai pengikat untuk menyatukan struktur.

Orang Romawi berusaha memberi tulangan pada bangunannya dengan strip dan batangan dari kuningan. Usaha ini kurang berhasil karena kuningan mempunyai kecepatan ekspnsi thermal yang lebih tinggi dari beton sehingga menyebabkan retak dan pecah. Beton bertulang yang sekarang kita pakai menggunakan tulangan baja berhasil karena baja mempunyai koefisien ekspansi dan kontraksi yang hampir sama dengan beton sehingga pada peningkatan maupun penurunan temperature pada beton dan baja terjadi regangan yang hampir sama.

Karena gagal menggunakan kuningan, orang Romawi membuat desain bangunan mereka untuk menahan beban dalam tegangan tekan (compression) dan hal ini menghasilkan struktur dengan dinding tebal, terkadang bisa lebih dari 8 meter tebalnya.

Hal ini mendorong dikembangkannya beton ringan. Pertama dicoba meringankan beton dengan menuangkan tempayan tanah liat ke dalam dinding. Kemudian diikuti oleh dimasukkannya batu apung (pumice, batu vulkanis yang porus) yang dihancurkan sebagai agregat. Sekitar tahun 200 M, beton ringan dipakai pada beberapa lengkungan pada bangunan Coloseum dan juga pada kubah dari bangunan Pantheon di Roma yang mampu bertahan hingga saat ini. Kubah Pantheon dengan diameter 43,2 meter menjadi yang terbesar di dunia.

Keberhasilan bangunan tersebut disebabkan oleh 3 hal: Fondasi beton berbentuk cincin yang kokoh, yang lebarnya 10,3 m dan tebalnya 4,5 m. Kedua kualitas mortar yang yang disebut diatas, dan yang ketiga adalah pilihan yang teliti dari seluruh bahan bangunan dari bawah sampai atas. Gambar 4 menunjukkan berbagai material yang dipakai dalam pembangunan Pantheon, mulai dari batuan basalt di fondasi sampai pada pecahan batu apung pada kubah. Dengan demikian, dan disertai bentuknya, maka tegangan tekan yang terjadi dari kubah dibuat seragam, sekitar 240 – 275 kPa.

Sayangnya seni membuat mortar hidrolis (mengeras di dalam air) hilang setelah jatuhnya Kekaisaran Roma Timur pada abad kelima.

Meskipun penggunaan material semen sudah cukup lama, namun hanya sedikit yang diketahui tentang susunan kimiawi semen, dan tidak ada perkembangan yang dirasakan cukup signifikan dalam kurun waktu antara 500 M hingga 1700 M. Baru pada tahun 1756 dimana John Smeaton yang ditugaskan untuk membangun mercusuar ketiga di Eddystone, Cornwall, di Selat Inggris. Dua mercusuar sebelumnya dibuat dari struktur kayu. Yang satu telah terbakar dan yang lain terbang tertiup topan. Smeaton sadar bahwa solusi satu-satunya yang praktis adalah membangun dengan blok-blok batu, tetapi masalahnya adalah bagaimana cara mengikatnya menjadi satu. Semen yang tersedia terlalu lemah dan lama pengerasannya. Struktur akan senantiasa diterpa air laut sehingga semen akan tersapu sebelum sempat mengeras.

Smeaton lalu menyelidiki berbagai mortar dari seluruh negeri. Mortar kapur akan mengeras di dalam air jika batu kapurnya mengandung tanah liat. Akhirnya dia menemukan suatu campuran kapur dan tanah liat yang akan mengeras bila dibakar. Dia menemukan bahwa batu kapur abu-abu menghasilkan mortar kapur yang lebih kuat daripada batu kapur putih dan memiliki sifat hidrolis. Penemuannya ini memacu enyempurnaan semen dan struktur pasangan batu bata. Smeaton membangun mercusuar Eddystone pada tahun 1759. Bangunan tersebut berdiri selama 126 tahun. Smeaton menuliskan penemuannya pada sebuah buku yang kemudian salah satu salinannya dibeli oleh Joseph Aspdin pada tahun 1813. Pemakaian beton terus berlanjut dan jembatan beton tak bertulang pertama dibangun di Souillac, Perancis, pada tahun 1816.

Pada tahun 1824, hampir 70 tahun setelah Smeaton, seorang tukang batu yang bernama Joseph Aspdin mengajukan hak paten di Inggris untuk pembuatan semen artificial yang pertama, dengan membakar campuran kapur dan tanah liat di tungku dapur rumahnya, dan kemudian menggilingnya hingga menjadi bubuk halus. Bubuk ini disebutnya Semen Portland. Disebut demikian bukan karena dibuat di tempat tertentu atau menjadi nama merk dagang tertentu, namun merupakan istilah generik karena warnanya yang kelabu dan kekuatan yang dihasilkannya menyerupai semen alami yang berasal dari Pulau Portland di Inggris. Apsdin membangun pabrik semen di Wakefield, yang pada tahun 1828 dipakai untuk membangun terowongan pada Sungai Thames.

Sementara itu, ilmuwan Eropa lainnya juga mulai menangani semen. Louis Vicaat dari Perancis, misalnya, menyiapkan kapur hidrolis buatan dengan kalsinasi campuran batu kapur dan tanah liat. Vicaat menganalisis kualitas semen, menyempurnakan pembuatan semen dan mengembangkan teori baru tentang hidrolisis dan pembuatan klinker.

Baru 20 tahun kemudian J.D. White membangun pabrik semen Portland di Kent, yang kemudian berkembang pesat di Inggris. Juga di Belgia dan Jerman. Semen Portland mulai digunakan untuk membangun system selokan di London pada tahun 1859 sampai 1867.

Salah satu kendala dari semen Portland pada waktu itu adalah harganya, yang hampir 10 kali harga semen sekarang. Ini karena mahalnya biaya manufaktur dan belum luasnya pemakaian. Baru pada sekitar tahun 1880 Ransome membuat kiln (tungku pembakaran) bersambung yang pertama, sehingga biaya pembuatan semen Portland lambat laun menjadi semakin rendah.

Pabrik Semen Pertama di Indonesia

Perusahaan semen pertama di Indonesia adalah PT Semen Padang (Perusahaan) yang didirikan pada tanggal 18 Maret 1910 dengan nama NV Nederlandsch Indische Portland Cement Maatschappij (NV NIPCM). Kemudian pada tanggal 5 Juli 1958 Perusahaan dinasionalisasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dari Pemerintah Belanda. Selama periode ini, Perusahaan mengalami proses kebangkitan kembali melalui rehabilitasi dan pengembangan kapasitas pabrik Indarung I menjadi 330.000 ton/ tahun. Selanjutnya pabrik melakukan transformasi pengembangan kapasitas pabrik dari teknologi proses basah menjadi proses kering dengan dibangunnya pabrik Indarung II, III, dan IV.