Kamis, 27 Oktober 2016

DEONTOLOGY & TELEOLOGY


  • Deontologi 
berasal dari kata Yunani “deon” yang berarati apa yang harus dilakukan, kewajiban. Pemikiran ini dikembangkan oleh filosof Jerman, Immanuel Kant (1724-1804). Sistem etika selama ini yang menekankan akibat sebagai ukuran keabsahan tindakan moral dikritik habis-habisan oleh Kant. Kant memulai suatu pemikiran baru dalam bidang etika dimana ia melihat tindakan manusia absah secara moral apabila tindakan tersebut dilakukan berdasarkan kewajiban (duty) dan bukan akibat. Menurut Kant, tindakan yang terkesan baik bisa bergeser secara moral apabila dilakukan bukan berdasarkan rasa kewajiban melainkan pamrih yang dihasilkan. Perbuatan dinilai baik apabila dia dilakukan semata-mata karena hormat terhadap hukum moral, yaitu kewajiban.

Kant membedakan antara imperatif kategoris dan imperatif hipotetis sebagai dua perintah moral yang berbeda. Imperatif kategoris merupakan perintah tak bersyarat yang mewajibkan begitu saja suatu tindakan moral sedangkan imperatif hipotesis selalu mengikutsertakan struktur “jika.. maka.. “.

Kant menganggap imperatif hipotetis lemah secara moral karena yang baik direduksi pada akibatnya saja sehingga manusia sebagai pelaku moral tidak otonom (manusia bertindak semata-mata berdasarkan akibat perbuatannya saja). Otonomi manusia hanya dimungkinkan apabila manusia bertindak sesuai dengan imperatif kategoris yang mewajibkan tanpa syarat apapun. Perintah yang berbunyi “lakukanlah” (du sollst!). Imperatif kategoris menjiwai semua perbuatan moral seperti janji harus ditepai, barang pinjaman harus dikembalikan dan lain sebagainya. Imperatif kategoris bersifat otonom (manusia menentukan dirinya sendiri) sedangkan imperati hipotetis bersifat heteronom (manusia membiarkan diri ditentukan oleh faktor dari luar seperti kecenderungan dan emosi).

Berkenaan dengan pemikiran deontologinya, Kant mengemukakan duktum moralnya yang cukup terkenal: “bertindaklah sehingga maxim (prinsip) dari kehendakmu dapat selalu, pada saat yang sama, diberlakukan sebagai prinsip yang menciptakan hukum universal. Contoh tindalah moral “jangan membunuh” adalahbesar secara etis karena pada saat yang sama dapat diunverasalisasikan menjadi prinsip umum, (berlaku untuk semua orang dimana saja kapan saja).

Deontology: Deontology is an alternative ethical system that is usually attributed to the philosophical tradition of Immanuel Kant. Whereas utilitarianism focuses on the outcomes, or ends, of actions, deontology demands that the actions, or means, themselves must be ethical. Deontologists argue that there are transcendent ethical norms and truths that are universally applicable to all people. Deontology holds that some actions are immoral regardless of their outcomes; these actions are wrong in and of themselves. Kant gives a 'categorical imperative' to act morally at all times. The categorical imperative, in its most widely used formulation, demands that humans act as though their actions would be universalized into a general rule of nature. Kant believes that all people come to moral conclusions about right and wrong based on rational thought. Deontology is roughly associated with the maxim 'the means must justify the ends.'


Teleologi dalam penerapannya dapat pula seperti mengukur baik buruknya sesuatu tindakan berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dengan tindakan itu atau malah akan berakibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu.misalnya egoisme,mengejar suatu tujuan untuk kepentingannya sendiri tanpa memperhatikan kepentingan orang lain dimana jika berlebihan,hal ini akan mengacu pada hedonisme.